Ritual Nyobeng dan Gawai Dayak Suku Dayak Bidayuh Kampung Sebujit, Kalimantan Barat
REP | 05 August 2013 | 00:38



Oleh: Adelbertus.
Ritual
Nyobeng merupakan ritual memandikan atau membersihkan tengkorak kepala
manusia hasil mengayau oleh nenek moyang suku Dayak Bidayuh. Ini
dilakukan suku Dayak Bidayuh, satu diantara sub-suku Dayak di Kampung
Sebujit, Kecamatan Siding, Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat.
Nyobeng dulu sebenarnya berasal dari kata Nibakng atau Sibang yang
merupakan kegiatan Ritual yang besar dan tidak bisa sembarangan.
Pemerintah yang datang ke daerah dulu, mereka menyebutnya Sibakng itu
adalah Sobeng. Kalau Sibakng lebih bagus kenapa kita tidak menyebutnya
Nyobeng, kata mereka. Nibakng sebenarnya sama, yaitu pertama Nibakng ini
merupakan kegiatan tahunan yang paling besar merupakan ucapan syukur
kepada Tuhan Yang Maha Esa, Tipaiakng (dalam bahasa suku Dayak
Bidayuh), atas berkat panen padi yang diterima masyarakat suku Dayak
Bidayuh dan yang kedua dulu merupaka ritual untuk menghormati kepala
manusia hasil mengayau. Tetapi intinya adalah ucapan syukur kepada Tuhan
Yang Maha Esa (tipaiakng) dalam bahasa suku Dayak Bidayuh, atas berkat panen padi yang melimpah, ini merupakan tujuan sesungguhnya dari ritual Nyobeng itu sendiri.
Mengayau
adalah memengal kepala manusia dan tengkoraknya diawetkan. Sekarang
tradisi mengayau sudah tidak dilakukan lagi. Upacara ini cukup
mengharukan dan berlangsung selama tiga hari, mulai 15 – 17 juni yang
harus di laksanakan setiap tahun. Pra kegiatan ritual Nyobeng dilakukan
dengan buka rumah Baluk (rumah adat Suku Dayak Bidayuh) pada 13 Juni.
Pembukaan rumah adat ini juga dilakukan dengan sebuah ritual, yaitu
ritual buka rumah Baluk, ada beberapa sesajian yang menjadi syarat
ritual ini, yaitu sirih, gambir, kapur, pinang, tuak, daun jeruk dan
bawang kucai sebagai pewanginya. Setelah rumah Baluk di buka musik
dengan alat tradisional yang ada di dalam rumah Baluk harus dimainkan
terus, musik itu disebut musik simaniamas, yaitu musik santai dan
persahabatan.
Inti
dari ritual Nyobeng yakni, memandikan tengkorak kepala manusia hasil
mengayau yang disimpan dalam rumah Baluk. Sesuai aturan yang dipercaya
secara turun temurun. Di mulai menyambut tamu di batas desa. Awalnya,
ini dilakukan untuk menyambut anggota kelompok yang datang dari
mengayau.
Proses
ritual Nyobeng ini dilakukan dalam beberapa tahap. Tahap pertama ritual
di mulai pukul 04.00 subuh, bertempat di rumah Baluk di pimpin oleh
ketua adat. Ritual pertama ini disebut dengan Paduapm (dalam bahasa
Dayak Suku Bidayuh) yang artinya memanggil atau menggundang roh-roh para
leluhur untuk datang dalam ritual Nyobeng dan sekaligus memohon izin
atas ritual yang akan dilaksanakan, supaya semuanya berjalan dengan baik
dan mendapat berkat dari para leluhur (Tipaiakng; menyebut Tuhan dalam
bahasa Suku Dayak Bidayuh).
Rumah
Baluk merupakan rumah Adat Suku Dayak Bidayuh yang berupa rumah
panggung dan berbentuk bulat. Untuk memasuki rumah adat ini, dibuat
undakan yang terbuat dari bilah pohon atau kayu belian. Rumah Baluk
dengan tinggi 16 meter dan berbentuk bulat, dengan 21 tiang penyanggah
dari kayu belian, beratapkan daun sagu, dan dinding dari bambu yang
terbelah. Dengan satu pintu utama, di bagian kiri dan kanan
masing-masing satu buah jendela yang terbuka mengagak keatas dengan satu
kayu penyanggah. Bagian belakang dengan dua jendela yang berlapis
diatas dan bawah, terbuka mengagak keatas, didepan pintu masuk ada dua
buah patung dari kayu belian yang berdiri dan saling berhadapan,
disebelah kiri dan kanan. Patung ini merupakan patung nenek moyang suku
Bidayuh. Rumah Baluk ini sangat menawan jika di lihat dari kejauhan.
Rumah Baluk sudah ada sejak tahun 1997 dan sekarang sudah 14 tahun,
dengan berlantai papan, berdinding bambu, dan beratap daun sagu masih
tetap kokoh berdiri. Atap yang terbuat dari dau sagu tersebut harus
diganti setiap tahunnya. Sebuah lapangan bola yang cukup luas dibawahnya
menambah indahnya pesona rumah Baluk.
Bagian dalam rumah Baluk cukup luas dan ada banyak barang untuk
kegiatan ritual Nyobeng. Bagian dalam rumah Baluk di bagi menjadi tiga
lantai, yaitu lantai dasar, lantai satu, dan lantai dua paling atas yang
berukuran kecil. Pada lantai dasar rumah baluk, siapa saja boleh masuk,
karena untuk umum yang bisa menampung sekitar 5 orang lebih bagi yang
ingin menyaksikan ritual Nyombeng. Di tengah-tengah rumah baluk ada
dapur yang biasa di gunakan oleh Suku Dayak Bidayuh untuk memasak, di
sebelah kanan ada 4 buah Aguakng (bahasa Dayak Bidayuh) yang di
gantungkan di dinding rumah Baluk, yaitu alat musik tradisional mirip
seperti Tawak yang memiliki bunyi yang berbeda, dan sebelah kanannya ada
5 buah gutakng berukuran kecil kira-kira sebesar baskom kecil yang di
simpan dalam satu tempat memanjang dari kayu, 1 buah sanakng yang
digantungkan dekat pintu, dan 1 buah tawak juga di gantungkan dekat
pintu sebelah kanan, dan semuanya memiliki bunyi yang berbeda, sangat
menarik dan memanjakan teliga bagi yang mendengarnya. Dibagian tengah
ada sibakng (bahasa Dayak Bidayuh) yang panjangnya 7 meter ke bawah
hingga menembus lantai rumah baluk, yang terbuat dari batang pohon yang
panjang dan di lubangi, besarnya kira-kira sepelukan orang dewasa, makin
ke bawa semakin kuncup dan baian permukaan besar, di gantungkan dengan
rantai. Selalu di bunyikan setelah rumah baluk di buka. Dibagian atas
ada kabukng mirip gendang sebagai pengiring sibakng jika di mainkan.
Naik
ke lantai satu hanya boleh tujuh orang dan tidak boleh lebih pada saat
ritual Nyombeng dilakukan, ketujuh orang ini bukanlah orang sembarangan,
orang-orang yang sudah mendapat kepercayaan, orang berani, merupakan
tetua adat dan tujuh orang ini saling melengkapi pada saat ritual
dilakukan.
Lantai
keduanya paling atas dekat bumbungan dan berukuran kecil, merupakan
tempat penyimpanan tengkorak kepala manusia hasil mengayau nenek dulu,
dan juga tulang-tulang binatang hasil berburu. Pada saat ritual
memandikan tengkorak dengan darah babi, hanya satu orang yang
melakukannya yaitu oleh ketua adat yang sudah sangat terpecaya oleh
masyarakat.
Prosesi
yang kedua pada acara ritual Nyobeng yaitu penyambutan tamu, biasa
disebut Nabuai (bahasa Dayah Bidayuh). Dimulai menyambut tamu di batas
desa. Awalnya dilakukan untuk menyambut anggota kelompok yang datang
dari mengayau. Penyambut mengenakan selempang kain merah dengan hiasan
manik-manik dari gigi binatang hasil berburu yang dikalungkan.
Dilengkapi dengan sumpit, Mandau, dan senapan lantak yang dibunyikan
ketika para tamu undangan hendak memasuki batas desa. Sumpit dan Mandau
juga di acungkan bersama-sama sambil berseru.
Letupan
lantak dan seseruan tersebut juga berguna memangil roh para leluhur
sekaligus meminta izin bagi pelaksanaan ritual Nyobeng. Para tamu
undangan telah memanti diperbatasan desa tempat ritual akan
dilaksanankan, kemudian rombongan ketua adat dan tetua-tetua adat datang
dari rumah Baluk ke perbatasan desa untuk menyambut tamu tersebut.
mereka datang dengan segala persiapan, berselempang kain merah,
berkalungkan manik-manik dari taring binatang, dan memegang sumpit,
Mandau, dan senapan lantak sambil berseru serempak sepajang jalan menuju
perbatasan desa tempat tamu telah menunggu. Setibanya diperbatasan desa
mereka tetap berseru sambil menyacungkan sumpit dan Mandau ke atas dan
membuyikan senapan lantak beberapa kali. Ritual penyambutan tamu
dilaksanakan, ketua adat telah siap dengan sesajian yang dibawanya.
Tetua adat melemparkan ajing keudara, dengan Mandau, pihak kedua tamu
rombongan harus menebasnya dengan Mandau hingga anjing itu mati, jika
masih hidup harus dipotong begitu jatuh ketanah. Prosesi juga dilakukan
untuk ayam, ketua adat melemparkan ayam ke udara, dan pihak ketiga
rombongan tamu harus menebas ayam itu dengan Mandau sampai mati.
Kemudian dilanjutkan dengan melemparkan telur ayam ke rombongan tamu
undangan yang dilakukan oleh tetua adat perempuan, jika telur ayam tidak
pecah, maka tamu undangan yang datang di anggap tidak tulus, sebaliknya
jika pecah di badan bearti tamu undangan datang dengan ilkas.
Beras
putih dan kuning dilempar sambil membaca mantra. Para gadis lalu
menguyuhkan tuak dari pohon nau yang di campurkulit pohon pakak yang
sudah dikeringkan. Usai minum, rombongan tamu diantar menuju rumah Baluk
di tengah perkampungan Kampung Sebujit. Sambil berjalan menuju rumah
Baluk, para tetua adat berjalan paling depan sambil menari dan diiringin
musik untuk mengiringi rombongan tamu sampai ke rumah Baluk, ada yang
berseru-seru. Ribuan orang datang dari berbagai daerah, bahkan dari luar
Kalimantan hanya untuk menyaksikan ritual Nyobeng yang juga merupakan
gawai Dayak Suku Dayak Bidayuh Kampung Sebujit, Kecamatan Siding,
Kabupaten Bengkayang ini yang memang dilaksanakan setiap tahunnya dan
setiap 15-17 Juni.
Saat
masuk tempat upacara ritual, rombongan diberi percikan air yang telah
diberi mantra dengan daun anjuang, yang berfungsi sebagai tolak bala.
Tujuanya agar para tamu terhindar dari bencana. Ketika masuk depan area
rumah Baluk tempat upacara, para tamu harus menginjak buah kundur dan
batang pisang yang telah di belah disimpan dalam baskom. Ritual ini
lebih dikenal dengan ritual pepasan.
Bersama
warga dan tetua adat, para tamu kemudian menari tari simaniamas sambil
mengitari rumah Baluk. Maniamas adalah tarian untuk menyambut dan
menghormati para pembela tanah leluhur yang baru datang dari mengayau.
Sambil diiringin tetua-tetua adat dengan bernyayikan lagu dan
berseru-seru beberapa kali dan sambil membaca mantra-mantra.
Ketua
adat dan para tetua adat lainya masuk ke rumah Baluk. Sebelum acara
dimulai, para tamu undangan istimewa, telah hadir Sebastianus Darwis
(ketua DPRD Kabupaten Bengkayang), Bupati Bengkayang yang di wakili
Sekda Kabupaten Bengkayang, anggota DPD Kabupaten Bengkayang, ketua
dewan adat Kecamatan Siding (Deki Suprapto), para tokoh masyarakat dan
tokoh agama yang menghadiri pembukaan ritual Nyombeng menuju tempat yang
telah di siapkan panitia menghadap ke rumah Baluk. Pembukaan acara
ritual Nyobeng dilakukan dengan pemukulan sibakng sebanyak tujuh kali
sebagai tanda dimulainya ritual Nyobeng, di rumah Baluk yang dilakukan
langsung oleh ketua DPRD Kabupaten Bengkayang, Sebastianus Darwis, yang di dampinggi oleh ketua adat Suku Dayak Bidayuh, Bpk Amin.
Tema
Gawai Dayak Sebujit tahun ini, yaitu “Mari Kita Menjunjung Tinggi Adat
dan Budaya Kita dengan Tetap Mengedepankan Keharmonisan dalam
Kebhinekaan”. dalam sambutanya, Georgius Gunawan, selaku putera daerah
yang mampu membanggakan masyarakat Sebujit dan sebagai ketua panitia
mengatakan, “mari kita sukseskan gawai ini dalam hal saling menghormati,
walaupun banyak perbedaan diantara kita, berbeda-beda asal, daerah,
suku, bahasa tetapi kita tetap satu juga”. Gunawan juga mengatakan, mari
kita sukseskan gawai ini bersama-sama supaya dapat berjalan dengan aman
dan tertib sampai selesai tetap aman. Bupati Bengkayang yang
pada waktu itu diwakili oleh Seketaris Daerah, Kristianus Ayim, M.Si.
Mengatakan, “Ritual Nyobeng bukan hanya memandikan tengkorak, tetapi
melainkan manifestasi dari nilai-nilai yang di yakini masyarakat Dayak
Bidayuh. Melalui rangkaian upacara Nyobeng kita mengetahui nilai-nilai
tersebut. Nilai-nilai tersebut adalah keyakina penghormatan terhadap
leluhur, menghargai perbedaan, solidaritas sosial, dan ketaatan terhadap
aturan dan adat istiadat, tradisi dan gawai adat Dayak
Bidayuh tahun 2013 ini merupakan warisan leluhur yang terus dikembangkan
dan dipertahankan sejak dahulu kala secara turun temurun, karena budaya
merupakan karakter bangsa kita”. Menjaga agar kekuatan spiritual yang
ada dalam tengkorak manusia jika diperlakukan dengan tepat dapat
melindungi masyarakat dari berbagai macam bencana, menjadi penghubung
kepada Jubata. Hal ini dipandang perlu untuk mengajarkan budaya
bersyukur kepada Jubata penguasa alam semesta atas rezeki yang melimpah
yang telah diterim, lanjut Ayim. Selain itu gawai Bidayuh mengandung
makna filosofi merupakan rasa solidaritas, persamaan, persatuan, serta
menumbuhkan rasa kecintaan terhadap nilai-nilai kesenian dan budaya itu
sendiri. Serta menjadi modal yang kuat untuk menumbuhkan perekonomian
masyarakat. Pada dasarnya pemerintah Kabupaten Bengkayang sangat
mendukung kegiatan-kegiatan adat dan budaya seperti ini.
Setelah
upacara ritual Nyobeng ini di buka dengan pemukulan Sibakng sebanyak
tujuh kali oleh ketua DPRD Kabupaten Bengkayang, Sebastianus Darwis dan
setelah mendengankan beberapa sambutan dari beberapa tokoh masyarakat,
acara dilanjutkan dengan makan bersama di sekitar rumah Baluk yang telah
di siapkan oleh panitia. Toleransi juga sangat tinggi, bagi yang tamu
yang muslim telah disediakan makanan khusus bukan babi. Para tamu bebas
memilih tempat yang enak untuk makan, karena makanan disediakan dalam
bentuk kotak. Setelah makan tamu boleh meningalkan area rumah Baluk
untuk istirahat. Ritual Nyobeng, memandikan tengkorak kepala manusia
hasil mengayau akan dilaksanakan makamnya di rumak Baluk sekitar pukul
21.00 WIB atau pukul 22.00 waktu Malaysia.
Malam harinya sekitar pukul 19.00 WIB atau pukul 20.00 waktu Malay, masyarakat sudah
berkukpul di bawah rumah Baluk yang memiliki tinggi 16 meter dengan 21
tiang pengyanggah dari kayu belian Nampak kokoh berdiri di tengah-tengah
perkampungan Sebujit yang juga menjadi kebanggaan masyarakat sebujit
karena rumah Baluk ini juga sudah dibangun di Taman Mini Indonesia Indah
di Jakarta (TMII). Masyarakat berharap hal ini akan terus berkembang
dan tidah hanya sampai di Taman Mini Jakarta, bisa dikenal oleh seluruh
lapisan bahkan sampai lapisan Nasional dan Internasional bisa mengenal
rumah Baluk dan ritual Nyobeng di Kampung Sebujit ini. Sebelum memulai
ritual Nyobeng yang merupakan ritual inti dari upacara ini. Ritual
dimulai dengan memotong kepala anjing dan ayam di bawah rumah Baluk.
Ayam akan diambil darahnya dan anjing akan diambil kepalanya untuk
sesajian kepada para leluhur. Setelah itu dilanjutkan dengan tari-tarian
dan menari bersama-sama masyarakat, para tamu, dan tetua adat dengan
diiringi musik yang dimainakan dari dalam rumah Baluk, disebut dengan
musik simaniamas yaitu, musik santai dan persahabatan yang memanjakan
telinga, sehingga kita menari dengan santai dan bebas sesuai dengan
iringan musik tradisional kebanggaan masyarakat Dayak Bidayuh Kampung
Sebujit. Musik dan tari-tarian ini merupakan ritual sebagi pengantar ke
ritual intin memandikan tengkorak kepala manusia hasil mengayau.
Dua
setengah jam lamanya masyarakat menari dengan iringan musik simaniamas,
sekitar pukul 21.30 WIB, ketua adat Bpk. Amin sebagai pemimpin upacara
ritual memandikan tengkorak dan beberapa para tetua adat
naik kerumah Baluk dengan pakaian lengkap kain merah, berkalung
manik-manik dari taring binatang, ikat kepala, dan dengan Mandau di
tanggan. Seekor babi yang lumayan besar terikat pada sebatang kayu, siap
untuk di jadikan kurban kira-kira beratnya hampir mencapai 50 kg,
karena tidak harus ditentukan beratnya berapa. Para tamu dan masyarakat
yang ingin menyaksikan langsung ritual ini diperkenankan masuk ke rumah
Baluk, tetapi hanya pada lantai dasar yang boleh untuk umum, lantai satu
tempat sesajian hanya boleh tujuh orang yaitu ketua adat dan para tetua
adat. Lantai ketiga paling atas dan berukuran kecil merupakan tempat
penyimpanan tengkorak kepala manusia hasil mengayau dan tulang binatang
lainya hasil berburu para nenek moyang Bidayuh. Hanya ketua adat yang
bisa naik ke tempat ini. Ketua adat dan para tetua adat
telah siap, semua mata tertuju pada mereka yang akan melakukan ritual
tanda dimulainya ritual, didepan mereka seekor babi yang tak berdaya
telah siap menjadi kurban. Sibakng di pukul sebanyak tujuh kali tanda
dimulainya ritual, sementara itu para tetua adat sambil berseru-seru dan
mengacungkan Mandau ke atas sambil membaca mantra-mantra. Setelah
Sibakng di pukul, para tetua adat terus berseru-seru sambil membaca
mantra, Mandau tetap diacungkan ke atas, setelah itu secara serempak
tetua adat langsung menusukan Mandau yang di pegang kearah babi yang di
jadikan kurban, ujung Mandau menancap dan menembus di bagian lengan
babi, suasana serentak berubah menjadi menegangkan dan menyeramkan,
jeritan babi menembus kesunyian malam, darahnya mengalir dari bekas
tusukan Mandau yang masih menancap di lengan babi, semua mata tertuju
pada babi yang menjerit. Para tetua adat terus berseru-seru sambil
membacakan mantra-mantra. Setelah Mandau di tusukkan beberapa kali,
ketua adat mengambil darah babi tersebut menggunakan tangan dan di
simpan ke dalam mangkok kecil, setelah cukup darah yang diambil ketua
adat diikuti beberapa tetua adat nak ke lantai dua meninggalkan babi
yang sudah tak bernyawa sementara darahnya terus mengalir bagaikan anak
sungai.
Tujuah
orang tetuah adat naik ke lantai dua untuk ritual selanjutnya, tidak
boleh lebih dari tujuh orang, setelah beberapa saat melakukan ritual,
ketua adat dengan membawa darah babi naik kelantai tiga paling atasrumah
Baluk yang merupakan tempat penyimpanan tengkorak kepala manusia hasil
mengayau dan tulang-tulang binatang lainnya hasil berburu. Kemudian
ketua adat mengoleskan darah babi tersebut beberapa kali sambil
membacakan mantra-mantra, setelah merasa sudah cukup, ketua adat pun
turun kemudian semuanya turun ke lantai dasar rumah Baluk. Ritual
selesai, dilanjutkan dengan memainkan musik simaniamas, merupakan musik
santai dan persahabatan yang selalu memanjakan teliga yang mendengarnya.
Iring-iringan musik simaniamas harus terus dimainkan, sementara itu
para tamu dan masyarakat yang ikut menyaksikan ritual ini satu-persatu
turun meninggalkan tempat ritual rumah Baluk. Bagian terakhir dari
ritual ini yaitu para tetua adat menyiapkan sesajian terakhir, berupa
hati babi, anjing, dan ayam diantar ke atas setelah itu para tetua adat
makan adat terakhir dari sesajian yang disiapkan. Dengan begitu
berakhirlah ritual Nyombeng memandikan tengkorak kepala manusia hasil
mengayau yang di lakukan di dalam rumah Baluk.
Keesokan
harinya, hari ketua dari ritual Nyobeng ini adalah di isi dengan kiatan
olahraga tradisional. Ada satu yang sangat unik sekali dari olahraga
tradisional dan mungkin tidak dimiliki oleh daerah lain, yaitu panjat
pinang terbalik dengan kaki ke atas dan kepala kebawah, aneh bukan?.
Panjat pinang terbalik ini masih merupakan bagian dari ritual Nyobeng
yang baru saja dilakukan tadi malam, jelas Gunawan selaku ketua panitia
dan juga merupakan putera daerah yang sanggat di banggakan di Kampung
Sebujit yang telah berhasil mengsukseskan acara Gawai Dayak Suku Dayak
Bidayuh, Kampung Sebujit ini.
Hari
ketiganya, merupakan hari terakhir dari upacara ritual Nyobeng ini
masih menyisakan satu ritual lagi, yaitu biasa disebut Balik Layar.
Balik Layar ini merupakan ritual terakhir yaitu pertama ucapan terima
kasih kepada roh-roh para leluhur atau Tipaiyakng yang telah datang pada
ritual Nyobeng ini dan yang kedua ritual pengembalian roh-roh para
leluhur atau Tipaiyakng ke tempat asal mereka berada di gunung-gunung
sekitar Kampung Sebujit. Karena seperti ritual pertama di awal mereka di
undang secara baik-baik untuk meminta izin dan untuk hadir dalam ritual
Nyobeng, nah sekarang mereka juga akan dikembalikan lagi ketempat
mereka supaya roh-roh leluhur tadi tetap bersahabat dengan masyarakat,
melindungi masyarakat, dan memberikan rezeki yang melimpah. Dengan
ritual terakhir inilah berakhir pula ritual Nyobeng Suku Dayak Bidayuh
Kampung Sebujit, Kecamatan Siding, Kabupaten Bengkayang Kalimantan
Barat.
Ritual
Nyobeng merupakan warisan nenek moyang yang diwariskan secara turun
temurun, sebuah ucapan syukur kepada leluhur. Ritual ini harus
dilaksanakan setiap tahunnya dan tidak bisa di tinggalkan. Ada
konsekuensi tersendiri yang harus masyarakat Suku Bidayuh terima jika
seandainya ritual ini tidak silaksanakan. Hal ini tentunya tidak
diinginkan oleh masyarakat Bidayuh, sesuatu akan menimpa mereka dan sama
halnya mereka menyumpah diri mereka sendiri, mungkin msyarakat Dayah
Bidayuh tidak bisa hidup nyaman dan tentram seperti sekarang ini, rezeki
akan terus diberikan kepada mereka oleh para leluhur atau Tipaiakng
(Tuhan). Maka dari inilah masyarakat harus terus bersyukur kepada
Tipaiakng (Tuhan) atas rezeki yang melimpah kepada mereka (masyarakata
Dayak Bidayuh). Hal ini dijelaskan langsung oleh Bapak Amin selaku ketua
adat Dayak Bidayuk, Kampung Sebujit dan Pak Gunawan, ketika wawancara
langsung di rumah Baluk, Jumat (14/6) malamnya sekitar pukul 21.00 WIB.
Ritual
Nyobeng sekaligus merupakan gawai Dayak Suku Dayak Bidayuh Kampung
Sebujit ini akan digelar tahun depan 2014. Masyarakat sangat mengarapkan
gawai tahun 2014 juga dapat terlaksana denagan baik dan ada sesuatu
yang berbeda. Gunawan, SH. Selaku ketua patinitia gawai Dayak Bidayuh
Sebujit, mengatakan “gawai 2014 mendatang aka nada sesuatu yang berbeda
dan akan lebih ramai, akan mengundang tamu-tamu dari Malaysia.
Rencananya gawai 2014 nanti, panitia akan menyiapkan sofenir-sofenir
yang berupa rumah Baluk kecil untuk para pengunjung yang datang,
ungkapnya”. Ini diharapkan, lanjut Gunawan, bisa menjadi satu cara yang
bisa memikat para wisatawan dari berbagai daerah, bahkan dari luar
negeri untuk datang kesebujit menyaksikan gawai Dayak Bidayuh ini.
Dengan demikian para tamu yang datang tidak pulang dengan tangan kosong.
Selain sofenir rumah Baluk, juga akan di siapkan barang-barang lainya.
Bisa memperkenalkan budaya yang ada di sebujit ke pada dunia luar.
Budaya ini jangan sampai punah di makan waktu, dan harus terus ada yang
melestarikannya sampai kapanpun, Gunawan menyayangkan anak-anak muda
sekarang ini, misalnya di kampung sebujit, sedikit sekali anak-anak muda
yang peduli akan budayanya sendiri. Sikap cuek dan tidak mau berperan
aktif misalnya dalam kegiatan seperti ini yang hanya
diadakan sekali dalam satu tahun. Dikhawatirkan dalam beberapa puluh
tahun kedepan mungkin tidak ada lagi yang meneruskan budaya ini, tetapi
ini jangan sampai terjadi, ungkap Gunawan saat di temui di rumahnya.
Ketua
adat Suku Dayak Bidayuh, Kampung Sebujit, Bapak Amin berpesan kepada
seluruh masyarakat Sebujit agar tetap mencintai, mempertahankan budaya
kita ini, jangan sesekali kita melupakan budaya sendiri. Bahkan harus
terus dikembangkan dan diperkenalkan kepada seluruh lapisan masyarakat
di Kalbar, secara Nasional, bahkan Internasional yang belum mengenal
budaya kita ini. Jangan sampai budaya yang sudah ada sejak dahulu kala
ini merupakan warisan nenek moyang secara turun temurun ini di kalahkan
bahkan di hapus oleh budaya yang baru sekarang ini yang datang dari
luar. Kepada anak-anak muda Suku Dayak Bidayuh Kampung Sebujit, jangan
hanya menjadi penonton di kampung sendiri ketika budaya kita di pamerkan
kepada orang lain. Kita harus berperan aktif di dalamnya. Karena
kalianlah para anak muda yang memengang kunci pertahanan dan
perkembangan budaya ini, tegas Pak Amin. Begitulah pesan yang
disampaikan Pak Amin selaku ketua adat Kampung Sebujit agar budaya itu
tetap tumbuh dan berkembang sepanjang masa. **