Sabtu, 07 Desember 2013

Ritual Nyobeng dan Gawai Dayak Suku Dayak Bidayuh Kampung Sebujit, Kalimantan Barat

Ritual Nyobeng dan Gawai Dayak Suku Dayak Bidayuh Kampung Sebujit, Kalimantan Barat

REP | 05 August 2013 | 00:38 Dibaca: 457   Komentar: 0   0 1375637847577876409
Oleh: Adelbertus.
Ritual Nyobeng merupakan ritual memandikan atau membersihkan tengkorak kepala manusia hasil mengayau oleh nenek moyang suku Dayak Bidayuh. Ini dilakukan suku Dayak Bidayuh, satu diantara sub-suku Dayak di Kampung Sebujit, Kecamatan Siding, Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat. Nyobeng dulu sebenarnya berasal dari kata Nibakng atau Sibang yang merupakan kegiatan Ritual yang besar dan tidak bisa sembarangan. Pemerintah yang datang ke daerah dulu, mereka menyebutnya Sibakng itu adalah Sobeng. Kalau Sibakng lebih bagus kenapa kita tidak menyebutnya Nyobeng, kata mereka. Nibakng sebenarnya sama, yaitu pertama Nibakng ini merupakan kegiatan tahunan yang paling besar merupakan ucapan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, Tipaiakng (dalam bahasa suku Dayak Bidayuh), atas berkat panen padi yang diterima masyarakat suku Dayak Bidayuh dan yang kedua dulu merupaka ritual untuk menghormati kepala manusia hasil mengayau. Tetapi intinya adalah ucapan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa (tipaiakng) dalam bahasa suku Dayak Bidayuh, atas berkat panen padi yang melimpah, ini merupakan tujuan sesungguhnya dari ritual Nyobeng itu sendiri.
Mengayau adalah memengal kepala manusia dan tengkoraknya diawetkan. Sekarang tradisi mengayau sudah tidak dilakukan lagi. Upacara ini cukup mengharukan dan berlangsung selama tiga hari, mulai 15 – 17 juni yang harus di laksanakan setiap tahun. Pra kegiatan ritual Nyobeng dilakukan dengan buka rumah Baluk (rumah adat Suku Dayak Bidayuh) pada 13 Juni. Pembukaan rumah adat ini juga dilakukan dengan sebuah ritual, yaitu ritual buka rumah Baluk, ada beberapa sesajian yang menjadi syarat ritual ini, yaitu sirih, gambir, kapur, pinang, tuak, daun jeruk dan bawang kucai sebagai pewanginya. Setelah rumah Baluk di buka musik dengan alat tradisional yang ada di dalam rumah Baluk harus dimainkan terus, musik itu disebut musik simaniamas, yaitu musik santai dan persahabatan.
Inti dari ritual Nyobeng yakni, memandikan tengkorak kepala manusia hasil mengayau yang disimpan dalam rumah Baluk. Sesuai aturan yang dipercaya secara turun temurun. Di mulai menyambut tamu di batas desa. Awalnya, ini dilakukan untuk menyambut anggota kelompok yang datang dari mengayau.
Proses ritual Nyobeng ini dilakukan dalam beberapa tahap. Tahap pertama ritual di mulai pukul 04.00 subuh, bertempat di rumah Baluk di pimpin oleh ketua adat. Ritual pertama ini disebut dengan Paduapm (dalam bahasa Dayak Suku Bidayuh) yang artinya memanggil atau menggundang roh-roh para leluhur untuk datang dalam ritual Nyobeng dan sekaligus memohon izin atas ritual yang akan dilaksanakan, supaya semuanya berjalan dengan baik dan mendapat berkat dari para leluhur (Tipaiakng; menyebut Tuhan dalam bahasa Suku Dayak Bidayuh).
Rumah Baluk merupakan rumah Adat Suku Dayak Bidayuh yang berupa rumah panggung dan berbentuk bulat. Untuk memasuki rumah adat ini, dibuat undakan yang terbuat dari bilah pohon atau kayu belian. Rumah Baluk dengan tinggi 16 meter dan berbentuk bulat, dengan 21 tiang penyanggah dari kayu belian, beratapkan daun sagu, dan dinding dari bambu yang terbelah. Dengan satu pintu utama, di bagian kiri dan kanan masing-masing satu buah jendela yang terbuka mengagak keatas dengan satu kayu penyanggah. Bagian belakang dengan dua jendela yang berlapis diatas dan bawah, terbuka mengagak keatas, didepan pintu masuk ada dua buah patung dari kayu belian yang berdiri dan saling berhadapan, disebelah kiri dan kanan. Patung ini merupakan patung nenek moyang suku Bidayuh. Rumah Baluk ini sangat menawan jika di lihat dari kejauhan. Rumah Baluk sudah ada sejak tahun 1997 dan sekarang sudah 14 tahun, dengan berlantai papan, berdinding bambu, dan beratap daun sagu masih tetap kokoh berdiri. Atap yang terbuat dari dau sagu tersebut harus diganti setiap tahunnya. Sebuah lapangan bola yang cukup luas dibawahnya menambah indahnya pesona rumah Baluk.
Bagian dalam rumah Baluk cukup luas dan ada banyak barang untuk kegiatan ritual Nyobeng. Bagian dalam rumah Baluk di bagi menjadi tiga lantai, yaitu lantai dasar, lantai satu, dan lantai dua paling atas yang berukuran kecil. Pada lantai dasar rumah baluk, siapa saja boleh masuk, karena untuk umum yang bisa menampung sekitar 5 orang lebih bagi yang ingin menyaksikan ritual Nyombeng. Di tengah-tengah rumah baluk ada dapur yang biasa di gunakan oleh Suku Dayak Bidayuh untuk memasak, di sebelah kanan ada 4 buah Aguakng (bahasa Dayak Bidayuh) yang di gantungkan di dinding rumah Baluk, yaitu alat musik tradisional mirip seperti Tawak yang memiliki bunyi yang berbeda, dan sebelah kanannya ada 5 buah gutakng berukuran kecil kira-kira sebesar baskom kecil yang di simpan dalam satu tempat memanjang dari kayu, 1 buah sanakng yang digantungkan dekat pintu, dan 1 buah tawak juga di gantungkan dekat pintu sebelah kanan, dan semuanya memiliki bunyi yang berbeda, sangat menarik dan memanjakan teliga bagi yang mendengarnya. Dibagian tengah ada sibakng (bahasa Dayak Bidayuh) yang panjangnya 7 meter ke bawah hingga menembus lantai rumah baluk, yang terbuat dari batang pohon yang panjang dan di lubangi, besarnya kira-kira sepelukan orang dewasa, makin ke bawa semakin kuncup dan baian permukaan besar, di gantungkan dengan rantai. Selalu di bunyikan setelah rumah baluk di buka. Dibagian atas ada kabukng mirip gendang sebagai pengiring sibakng jika di mainkan.
Naik ke lantai satu hanya boleh tujuh orang dan tidak boleh lebih pada saat ritual Nyombeng dilakukan, ketujuh orang ini bukanlah orang sembarangan, orang-orang yang sudah mendapat kepercayaan, orang berani, merupakan tetua adat dan tujuh orang ini saling melengkapi pada saat ritual dilakukan.
Lantai keduanya paling atas dekat bumbungan dan berukuran kecil, merupakan tempat penyimpanan tengkorak kepala manusia hasil mengayau nenek dulu, dan juga tulang-tulang binatang hasil berburu. Pada saat ritual memandikan tengkorak dengan darah babi, hanya satu orang yang melakukannya yaitu oleh ketua adat yang sudah sangat terpecaya oleh masyarakat.
Prosesi yang kedua pada acara ritual Nyobeng yaitu penyambutan tamu, biasa disebut Nabuai (bahasa Dayah Bidayuh). Dimulai menyambut tamu di batas desa. Awalnya dilakukan untuk menyambut anggota kelompok yang datang dari mengayau. Penyambut mengenakan selempang kain merah dengan hiasan manik-manik dari gigi binatang hasil berburu yang dikalungkan. Dilengkapi dengan sumpit, Mandau, dan senapan lantak yang dibunyikan ketika para tamu undangan hendak memasuki batas desa. Sumpit dan Mandau juga di acungkan bersama-sama sambil berseru.
Letupan lantak dan seseruan tersebut juga berguna memangil roh para leluhur sekaligus meminta izin bagi pelaksanaan ritual Nyobeng. Para tamu undangan telah memanti diperbatasan desa tempat ritual akan dilaksanankan, kemudian rombongan ketua adat dan tetua-tetua adat datang dari rumah Baluk ke perbatasan desa untuk menyambut tamu tersebut. mereka datang dengan segala persiapan, berselempang kain merah, berkalungkan manik-manik dari taring binatang, dan memegang sumpit, Mandau, dan senapan lantak sambil berseru serempak sepajang jalan menuju perbatasan desa tempat tamu telah menunggu. Setibanya diperbatasan desa mereka tetap berseru sambil menyacungkan sumpit dan Mandau ke atas dan membuyikan senapan lantak beberapa kali. Ritual penyambutan tamu dilaksanakan, ketua adat telah siap dengan sesajian yang dibawanya. Tetua adat melemparkan ajing keudara, dengan Mandau, pihak kedua tamu rombongan harus menebasnya dengan Mandau hingga anjing itu mati, jika masih hidup harus dipotong begitu jatuh ketanah. Prosesi juga dilakukan untuk ayam, ketua adat melemparkan ayam ke udara, dan pihak ketiga rombongan tamu harus menebas ayam itu dengan Mandau sampai mati. Kemudian dilanjutkan dengan melemparkan telur ayam ke rombongan tamu undangan yang dilakukan oleh tetua adat perempuan, jika telur ayam tidak pecah, maka tamu undangan yang datang di anggap tidak tulus, sebaliknya jika pecah di badan bearti tamu undangan datang dengan ilkas.
Beras putih dan kuning dilempar sambil membaca mantra. Para gadis lalu menguyuhkan tuak dari pohon nau yang di campurkulit pohon pakak yang sudah dikeringkan. Usai minum, rombongan tamu diantar menuju rumah Baluk di tengah perkampungan Kampung Sebujit. Sambil berjalan menuju rumah Baluk, para tetua adat berjalan paling depan sambil menari dan diiringin musik untuk mengiringi rombongan tamu sampai ke rumah Baluk, ada yang berseru-seru. Ribuan orang datang dari berbagai daerah, bahkan dari luar Kalimantan hanya untuk menyaksikan ritual Nyobeng yang juga merupakan gawai Dayak Suku Dayak Bidayuh Kampung Sebujit, Kecamatan Siding, Kabupaten Bengkayang ini yang memang dilaksanakan setiap tahunnya dan setiap 15-17 Juni.
Saat masuk tempat upacara ritual, rombongan diberi percikan air yang telah diberi mantra dengan daun anjuang, yang berfungsi sebagai tolak bala. Tujuanya agar para tamu terhindar dari bencana. Ketika masuk depan area rumah Baluk tempat upacara, para tamu harus menginjak buah kundur dan batang pisang yang telah di belah disimpan dalam baskom. Ritual ini lebih dikenal dengan ritual pepasan.
Bersama warga dan tetua adat, para tamu kemudian menari tari simaniamas sambil mengitari rumah Baluk. Maniamas adalah tarian untuk menyambut dan menghormati para pembela tanah leluhur yang baru datang dari mengayau. Sambil diiringin tetua-tetua adat dengan bernyayikan lagu dan berseru-seru beberapa kali dan sambil membaca mantra-mantra.
Ketua adat dan para tetua adat lainya masuk ke rumah Baluk. Sebelum acara dimulai, para tamu undangan istimewa, telah hadir Sebastianus Darwis (ketua DPRD Kabupaten Bengkayang), Bupati Bengkayang yang di wakili Sekda Kabupaten Bengkayang, anggota DPD Kabupaten Bengkayang, ketua dewan adat Kecamatan Siding (Deki Suprapto), para tokoh masyarakat dan tokoh agama yang menghadiri pembukaan ritual Nyombeng menuju tempat yang telah di siapkan panitia menghadap ke rumah Baluk. Pembukaan acara ritual Nyobeng dilakukan dengan pemukulan sibakng sebanyak tujuh kali sebagai tanda dimulainya ritual Nyobeng, di rumah Baluk yang dilakukan langsung oleh ketua DPRD Kabupaten Bengkayang, Sebastianus Darwis, yang di dampinggi oleh ketua adat Suku Dayak Bidayuh, Bpk Amin.
Tema Gawai Dayak Sebujit tahun ini, yaitu “Mari Kita Menjunjung Tinggi Adat dan Budaya Kita dengan Tetap Mengedepankan Keharmonisan dalam Kebhinekaan”. dalam sambutanya, Georgius Gunawan, selaku putera daerah yang mampu membanggakan masyarakat Sebujit dan sebagai ketua panitia mengatakan, “mari kita sukseskan gawai ini dalam hal saling menghormati, walaupun banyak perbedaan diantara kita, berbeda-beda asal, daerah, suku, bahasa tetapi kita tetap satu juga”. Gunawan juga mengatakan, mari kita sukseskan gawai ini bersama-sama supaya dapat berjalan dengan aman dan tertib sampai selesai tetap aman. Bupati Bengkayang yang pada waktu itu diwakili oleh Seketaris Daerah, Kristianus Ayim, M.Si. Mengatakan, “Ritual Nyobeng bukan hanya memandikan tengkorak, tetapi melainkan manifestasi dari nilai-nilai yang di yakini masyarakat Dayak Bidayuh. Melalui rangkaian upacara Nyobeng kita mengetahui nilai-nilai tersebut. Nilai-nilai tersebut adalah keyakina penghormatan terhadap leluhur, menghargai perbedaan, solidaritas sosial, dan ketaatan terhadap aturan dan adat istiadat, tradisi dan gawai adat Dayak Bidayuh tahun 2013 ini merupakan warisan leluhur yang terus dikembangkan dan dipertahankan sejak dahulu kala secara turun temurun, karena budaya merupakan karakter bangsa kita”. Menjaga agar kekuatan spiritual yang ada dalam tengkorak manusia jika diperlakukan dengan tepat dapat melindungi masyarakat dari berbagai macam bencana, menjadi penghubung kepada Jubata. Hal ini dipandang perlu untuk mengajarkan budaya bersyukur kepada Jubata penguasa alam semesta atas rezeki yang melimpah yang telah diterim, lanjut Ayim. Selain itu gawai Bidayuh mengandung makna filosofi merupakan rasa solidaritas, persamaan, persatuan, serta menumbuhkan rasa kecintaan terhadap nilai-nilai kesenian dan budaya itu sendiri. Serta menjadi modal yang kuat untuk menumbuhkan perekonomian masyarakat. Pada dasarnya pemerintah Kabupaten Bengkayang sangat mendukung kegiatan-kegiatan adat dan budaya seperti ini.
Setelah upacara ritual Nyobeng ini di buka dengan pemukulan Sibakng sebanyak tujuh kali oleh ketua DPRD Kabupaten Bengkayang, Sebastianus Darwis dan setelah mendengankan beberapa sambutan dari beberapa tokoh masyarakat, acara dilanjutkan dengan makan bersama di sekitar rumah Baluk yang telah di siapkan oleh panitia. Toleransi juga sangat tinggi, bagi yang tamu yang muslim telah disediakan makanan khusus bukan babi. Para tamu bebas memilih tempat yang enak untuk makan, karena makanan disediakan dalam bentuk kotak. Setelah makan tamu boleh meningalkan area rumah Baluk untuk istirahat. Ritual Nyobeng, memandikan tengkorak kepala manusia hasil mengayau akan dilaksanakan makamnya di rumak Baluk sekitar pukul 21.00 WIB atau pukul 22.00 waktu Malaysia.
Malam harinya sekitar pukul 19.00 WIB atau pukul 20.00 waktu Malay, masyarakat sudah berkukpul di bawah rumah Baluk yang memiliki tinggi 16 meter dengan 21 tiang pengyanggah dari kayu belian Nampak kokoh berdiri di tengah-tengah perkampungan Sebujit yang juga menjadi kebanggaan masyarakat sebujit karena rumah Baluk ini juga sudah dibangun di Taman Mini Indonesia Indah di Jakarta (TMII). Masyarakat berharap hal ini akan terus berkembang dan tidah hanya sampai di Taman Mini Jakarta, bisa dikenal oleh seluruh lapisan bahkan sampai lapisan Nasional dan Internasional bisa mengenal rumah Baluk dan ritual Nyobeng di Kampung Sebujit ini. Sebelum memulai ritual Nyobeng yang merupakan ritual inti dari upacara ini. Ritual dimulai dengan memotong kepala anjing dan ayam di bawah rumah Baluk. Ayam akan diambil darahnya dan anjing akan diambil kepalanya untuk sesajian kepada para leluhur. Setelah itu dilanjutkan dengan tari-tarian dan menari bersama-sama masyarakat, para tamu, dan tetua adat dengan diiringi musik yang dimainakan dari dalam rumah Baluk, disebut dengan musik simaniamas yaitu, musik santai dan persahabatan yang memanjakan telinga, sehingga kita menari dengan santai dan bebas sesuai dengan iringan musik tradisional kebanggaan masyarakat Dayak Bidayuh Kampung Sebujit. Musik dan tari-tarian ini merupakan ritual sebagi pengantar ke ritual intin memandikan tengkorak kepala manusia hasil mengayau.
Dua setengah jam lamanya masyarakat menari dengan iringan musik simaniamas, sekitar pukul 21.30 WIB, ketua adat Bpk. Amin sebagai pemimpin upacara ritual memandikan tengkorak dan beberapa para tetua adat naik kerumah Baluk dengan pakaian lengkap kain merah, berkalung manik-manik dari taring binatang, ikat kepala, dan dengan Mandau di tanggan. Seekor babi yang lumayan besar terikat pada sebatang kayu, siap untuk di jadikan kurban kira-kira beratnya hampir mencapai 50 kg, karena tidak harus ditentukan beratnya berapa. Para tamu dan masyarakat yang ingin menyaksikan langsung ritual ini diperkenankan masuk ke rumah Baluk, tetapi hanya pada lantai dasar yang boleh untuk umum, lantai satu tempat sesajian hanya boleh tujuh orang yaitu ketua adat dan para tetua adat. Lantai ketiga paling atas dan berukuran kecil merupakan tempat penyimpanan tengkorak kepala manusia hasil mengayau dan tulang binatang lainya hasil berburu para nenek moyang Bidayuh. Hanya ketua adat yang bisa naik ke tempat ini. Ketua adat dan para tetua adat telah siap, semua mata tertuju pada mereka yang akan melakukan ritual tanda dimulainya ritual, didepan mereka seekor babi yang tak berdaya telah siap menjadi kurban. Sibakng di pukul sebanyak tujuh kali tanda dimulainya ritual, sementara itu para tetua adat sambil berseru-seru dan mengacungkan Mandau ke atas sambil membaca mantra-mantra. Setelah Sibakng di pukul, para tetua adat terus berseru-seru sambil membaca mantra, Mandau tetap diacungkan ke atas, setelah itu secara serempak tetua adat langsung menusukan Mandau yang di pegang kearah babi yang di jadikan kurban, ujung Mandau menancap dan menembus di bagian lengan babi, suasana serentak berubah menjadi menegangkan dan menyeramkan, jeritan babi menembus kesunyian malam, darahnya mengalir dari bekas tusukan Mandau yang masih menancap di lengan babi, semua mata tertuju pada babi yang menjerit. Para tetua adat terus berseru-seru sambil membacakan mantra-mantra. Setelah Mandau di tusukkan beberapa kali, ketua adat mengambil darah babi tersebut menggunakan tangan dan di simpan ke dalam mangkok kecil, setelah cukup darah yang diambil ketua adat diikuti beberapa tetua adat nak ke lantai dua meninggalkan babi yang sudah tak bernyawa sementara darahnya terus mengalir bagaikan anak sungai.
Tujuah orang tetuah adat naik ke lantai dua untuk ritual selanjutnya, tidak boleh lebih dari tujuh orang, setelah beberapa saat melakukan ritual, ketua adat dengan membawa darah babi naik kelantai tiga paling atasrumah Baluk yang merupakan tempat penyimpanan tengkorak kepala manusia hasil mengayau dan tulang-tulang binatang lainnya hasil berburu. Kemudian ketua adat mengoleskan darah babi tersebut beberapa kali sambil membacakan mantra-mantra, setelah merasa sudah cukup, ketua adat pun turun kemudian semuanya turun ke lantai dasar rumah Baluk. Ritual selesai, dilanjutkan dengan memainkan musik simaniamas, merupakan musik santai dan persahabatan yang selalu memanjakan teliga yang mendengarnya. Iring-iringan musik simaniamas harus terus dimainkan, sementara itu para tamu dan masyarakat yang ikut menyaksikan ritual ini satu-persatu turun meninggalkan tempat ritual rumah Baluk. Bagian terakhir dari ritual ini yaitu para tetua adat menyiapkan sesajian terakhir, berupa hati babi, anjing, dan ayam diantar ke atas setelah itu para tetua adat makan adat terakhir dari sesajian yang disiapkan. Dengan begitu berakhirlah ritual Nyombeng memandikan tengkorak kepala manusia hasil mengayau yang di lakukan di dalam rumah Baluk.
Keesokan harinya, hari ketua dari ritual Nyobeng ini adalah di isi dengan kiatan olahraga tradisional. Ada satu yang sangat unik sekali dari olahraga tradisional dan mungkin tidak dimiliki oleh daerah lain, yaitu panjat pinang terbalik dengan kaki ke atas dan kepala kebawah, aneh bukan?. Panjat pinang terbalik ini masih merupakan bagian dari ritual Nyobeng yang baru saja dilakukan tadi malam, jelas Gunawan selaku ketua panitia dan juga merupakan putera daerah yang sanggat di banggakan di Kampung Sebujit yang telah berhasil mengsukseskan acara Gawai Dayak Suku Dayak Bidayuh, Kampung Sebujit ini.
Hari ketiganya, merupakan hari terakhir dari upacara ritual Nyobeng ini masih menyisakan satu ritual lagi, yaitu biasa disebut Balik Layar. Balik Layar ini merupakan ritual terakhir yaitu pertama ucapan terima kasih kepada roh-roh para leluhur atau Tipaiyakng yang telah datang pada ritual Nyobeng ini dan yang kedua ritual pengembalian roh-roh para leluhur atau Tipaiyakng ke tempat asal mereka berada di gunung-gunung sekitar Kampung Sebujit. Karena seperti ritual pertama di awal mereka di undang secara baik-baik untuk meminta izin dan untuk hadir dalam ritual Nyobeng, nah sekarang mereka juga akan dikembalikan lagi ketempat mereka supaya roh-roh leluhur tadi tetap bersahabat dengan masyarakat, melindungi masyarakat, dan memberikan rezeki yang melimpah. Dengan ritual terakhir inilah berakhir pula ritual Nyobeng Suku Dayak Bidayuh Kampung Sebujit, Kecamatan Siding, Kabupaten Bengkayang Kalimantan Barat.
Ritual Nyobeng merupakan warisan nenek moyang yang diwariskan secara turun temurun, sebuah ucapan syukur kepada leluhur. Ritual ini harus dilaksanakan setiap tahunnya dan tidak bisa di tinggalkan. Ada konsekuensi tersendiri yang harus masyarakat Suku Bidayuh terima jika seandainya ritual ini tidak silaksanakan. Hal ini tentunya tidak diinginkan oleh masyarakat Bidayuh, sesuatu akan menimpa mereka dan sama halnya mereka menyumpah diri mereka sendiri, mungkin msyarakat Dayah Bidayuh tidak bisa hidup nyaman dan tentram seperti sekarang ini, rezeki akan terus diberikan kepada mereka oleh para leluhur atau Tipaiakng (Tuhan). Maka dari inilah masyarakat harus terus bersyukur kepada Tipaiakng (Tuhan) atas rezeki yang melimpah kepada mereka (masyarakata Dayak Bidayuh). Hal ini dijelaskan langsung oleh Bapak Amin selaku ketua adat Dayak Bidayuk, Kampung Sebujit dan Pak Gunawan, ketika wawancara langsung di rumah Baluk, Jumat (14/6) malamnya sekitar pukul 21.00 WIB.
Ritual Nyobeng sekaligus merupakan gawai Dayak Suku Dayak Bidayuh Kampung Sebujit ini akan digelar tahun depan 2014. Masyarakat sangat mengarapkan gawai tahun 2014 juga dapat terlaksana denagan baik dan ada sesuatu yang berbeda. Gunawan, SH. Selaku ketua patinitia gawai Dayak Bidayuh Sebujit, mengatakan “gawai 2014 mendatang aka nada sesuatu yang berbeda dan akan lebih ramai, akan mengundang tamu-tamu dari Malaysia. Rencananya gawai 2014 nanti, panitia akan menyiapkan sofenir-sofenir yang berupa rumah Baluk kecil untuk para pengunjung yang datang, ungkapnya”. Ini diharapkan, lanjut Gunawan, bisa menjadi satu cara yang bisa memikat para wisatawan dari berbagai daerah, bahkan dari luar negeri untuk datang kesebujit menyaksikan gawai Dayak Bidayuh ini. Dengan demikian para tamu yang datang tidak pulang dengan tangan kosong. Selain sofenir rumah Baluk, juga akan di siapkan barang-barang lainya. Bisa memperkenalkan budaya yang ada di sebujit ke pada dunia luar. Budaya ini jangan sampai punah di makan waktu, dan harus terus ada yang melestarikannya sampai kapanpun, Gunawan menyayangkan anak-anak muda sekarang ini, misalnya di kampung sebujit, sedikit sekali anak-anak muda yang peduli akan budayanya sendiri. Sikap cuek dan tidak mau berperan aktif misalnya dalam kegiatan seperti ini yang hanya diadakan sekali dalam satu tahun. Dikhawatirkan dalam beberapa puluh tahun kedepan mungkin tidak ada lagi yang meneruskan budaya ini, tetapi ini jangan sampai terjadi, ungkap Gunawan saat di temui di rumahnya.
Ketua adat Suku Dayak Bidayuh, Kampung Sebujit, Bapak Amin berpesan kepada seluruh masyarakat Sebujit agar tetap mencintai, mempertahankan budaya kita ini, jangan sesekali kita melupakan budaya sendiri. Bahkan harus terus dikembangkan dan diperkenalkan kepada seluruh lapisan masyarakat di Kalbar, secara Nasional, bahkan Internasional yang belum mengenal budaya kita ini. Jangan sampai budaya yang sudah ada sejak dahulu kala ini merupakan warisan nenek moyang secara turun temurun ini di kalahkan bahkan di hapus oleh budaya yang baru sekarang ini yang datang dari luar. Kepada anak-anak muda Suku Dayak Bidayuh Kampung Sebujit, jangan hanya menjadi penonton di kampung sendiri ketika budaya kita di pamerkan kepada orang lain. Kita harus berperan aktif di dalamnya. Karena kalianlah para anak muda yang memengang kunci pertahanan dan perkembangan budaya ini, tegas Pak Amin. Begitulah pesan yang disampaikan Pak Amin selaku ketua adat Kampung Sebujit agar budaya itu tetap tumbuh dan berkembang sepanjang masa. **

Kamis, 05 Desember 2013

LEMANG KHAS KALIMANTAN BARAT

LEMANG KHAS KALIMANTAN BARAT

LEMANG merupakan makanan penganan khas suku dayak dan melayu tak terkecuali di kota Pontianak. Makanan yang berbahan dasar beras ketan yang dimasak dalam seruas bambu yang dilapisi daun pisang dengan air santan kelapa terkadang juga diisi dengan kacang merah. Bambu berisikan beras ketan ini kemudian dimasak dengan cara dibakar. Di Pontianak Lemang dibakar selama 5 jam. lemang dipandok/mandok (bakar) dengan menjajarkannya secara vertikal dalam beberapa baris ruas bambu. Lemang selalu ada dalam penyajian pada saat perayaan atau pesta-pesta adat Suku Dayak dan selalu menjadi makanan wajib oleh suku melayu pada saat hari raya Idul Fitri maupun Idul Adha . Penganan yang juga dikenal untuk menjamu tamu dan menyambut bulan Ramadhan dan Maulid Nabi ini, memiliki rasa yang gurih dan nikmat dengan kekenyalan dari beras ketan, bentuknya pun menyerupai lontong dengan balutan daun pisang yang tentunya menambah aroma sedap dan wangi dari daun pisang.
Lemang lebih nikmat disantap hangat-hangat. Menikmati lemang umumnya oleh masyarakat Pontinak dengan cara asin atau disantap bersama rendang, telur,sambal dan lauk-pauk lainnya.sedangkan di daerah lain cara menyantap lemang juga berbeda-beda dari daerah ke daerah. Ada yang senang menikmatinya dengan cara manis ditambah selai, kinca,dan serikaya atau ada juga yang memakannya dengan buah-buahan seperti durian. Untuk masyarakat kota Pontianak khususnya kenapa tidak kita mencoba membuat lemang beraneka rasa, selain yang berisikan kacang merah. Sehingga bisa menambah daftar kuliner daerah kita, dan tidak menutup kemungkinan di jadikan sebuah usaha yang unik.

Lemang menjadi panganan favorit multi etnik orang-orang di Pontianak selama Ramadhan, penjual musiman lemang adalah sebagai penyelamat makanan tradisional Kalimantan Barat dari kepunahan. Lemang sebagai simbol makanan pribumi Kalimantan Barat yang disenangi oleh orang-orang bukan pribumi saja mudah-mudahan terus menjadi panganan yang dicari di Kota Pontianak.

Resep Lemang

Bahan:
Untuk 1 isi Lemang (1 ruas tabung bambu)
  • 1 kilogram beras ketan (hitam atau putih)
  • 5 butir kelapa (diambil santan kental dan encer)
  • Garam secukupnya, atau sesuai selera
Untuk tabung pembungkus
  • Daun pisang muda, secukupnya
  • Buluh lemang yang sudah dibersihkan (pilih bambu yang berkulit tipis, yang khusus untuk pembuatan lemang, bukan bambu berkulit tebal yang biasa digunakan untuk membuat perabot).
Sabut untuk pembakaran
- Bisa didapatkan di pasar tradisional

Cara membuat:
  • Garam dilarutkan secara merata kedalam santan, lalu tuangkan ke dalam beras pulut (beras ketan). Adonan tidak boleh kebanjiran (terlalu banyak air/santan) dan jangan sampai kekeringan pula.
  • Masukkan adonan ke dalam tabung bambu yang sudah dilapisi oleh daun pisang muda. Tinggi adonan kira-kira sepanjang tabung dikurangi sekitar 7 centimeter dari permukaan tabung.
  • Setelah itu, bakar tabung bambu yang sudah berisi adonan dengan cara menegakkannya pada sebuah sandaran. Sandaran diletakkan sedemikian rupa (berada di antar sabut dan tabung bambu) sehingga tabung mendapat panas dari sabut kelapa yang dibakar. Pembakaran ini akan berlangsung kira-kira selama 3 jam.
  • Balik-balik posisi tabung bambu sehingga semua bagian mendapatkan panas secara merata.

Riam Merasap - Bengkayang

Riam Merasap - Bengkayang





Ketinggian Riam Merasap ini sekitar 27 meterdan lebar sekitar 200 meter. Konon legendanya ada intan sebesar kepalan tangan yang dijaga oleh seekor labi-labi (kura-kura putih).

Masyarakat setempat menyebutnya dengan riam merasap karena kalau pada musim bulan oktober atau pada musim penghujan dan airnya deras, banyak buih-buih dari tetesan riam ini yang seperti asap.

Umat Katolik setiap hari-hari besarnya (menjelang Bulan Rosaria) selalu ramai mengunjungi Riam Merasap karena sejak lebih dari satu dekade lalu berdiri sebuah Goa Maria diatas air terjun ini.
Lokasi

Terletak di Dusun Dawar/Segonde, Desa Pisak, Kecamatan Tujuh Belas/Sanggau Ledo, Kabupaten Bengkayang, Propinsi Kalimantan Barat.

Peta dan Koordinat GPS: 1° 18' 11.31" S  110° 11' 3.44" E 

Aksesbilitas

Berjarak tempuh dari kota Bengkayang ke Lokasi Riam Merasap kurang lebih sekitar 62 km atau kurang lebih 130 km sebelah timur Kota Singkawang atau 300 km dari Pontianak. Dapat dikunjungi dengan kendaraan roda dua maupun roda empat.  Dari Pontianak bisa menggunakan bis kurang lebih 8 jam denga melewati rute Pontianak - Pinyuh - Anjungan - Toho - Karangan - Bengkayang - Sanggau Ledo.

Dapat juga menggunakan jalur lain denga rute Pontianak - Pinyuh - Mempawah - Singkawang - Samalatan - Bengkayang - Sanggau Ledo. Jalur (rute) pertama jarakanya lebih dekat dibandingkan jalur (rute) kedua (kira-kira selisih 50 km, akan tetapi jalur pertama kondisi jalannya rusak.  Waktu tempuh kedua jalur tersebut kira-kira 6 jam dengan kecepatan rata-rata 60-90 km/jam.

Untuk jalur kedua ini lebih asik, karena melewati bukit Mendering yang jalannya berkelak-kelok kayak ular dengan tikungan yang seperti angka delapan

Selanjutnya jika ingin mencapai riam dan mandi dibawahnya mesti turun ke bawah, akan tetapi diperlukan kehati-hatian untuk turun kebawah,sebab jalannya terjal dan licin selain itu belum dibuatkan tangga untuk turun.

Fasilitas dan Akomodasi

Objek wisata ini dilengkapi dengan beragam fasilitas seperti kantin, perhotelan, penginapan, kawasan offroad, souvenir shop, arung jeram, dan budidaya keramba.


RIAM MERASAP
»Alamat/Lokasi : Desa Kaliau’, Kecamatan Sanjingan Besar
» Status Kepemilikan : Tanah Desa
» Nama Pengelola : Kelompok Peduli Riam Merasap (Organisasi Masyarakat)

» Jarak dari Pusat Kota/Waktu Tempuh : 85 km dari pusat Ibukota Kabupaten Sambas
» Kondisi Jalan Menuju Obyek Wisata : Jalan setapak menuju ke lokasi riam/air terjun sepanjang 700 meter, lebar badan jalan 2 meter
» Transportasi yang Dapat Digunakan /Biaya : Roda 2 dan roda 4 menuju ke desa terdekat kemudian berjalan kaki kira-kira 1 km hingga lokasi riam merasap.
» Harga Tiket Masuk : Tidak dipungut biaya.
» Daya Tarik yang ada di ODTW :
- Di sepanjang perbatasan Kabupaten Sambas dengan Negeri Serawak, terdapat banyak air terjun dan riam yang sebagian besar masih sangat alami karena masih belum tersentuh tangan manusia. Salah satunya yang cukup dekat dengan ibukota Kecamatan Sajingan Besar adalah Air Terjun/Riam Merasap yang merupakan hulu dari Sungai Sajingan. Disebut Riam Merasap karena air yang deras dari riam ini menimbulkan kabut dingin dari percikan air, karena itulah penduduk sekitarnya menamakan riam ini dengan nama Riam Merasap.
- ODTW ini masih alami dan mempunyai nilai jual yang tinggi bagi menarik para wisatawan. Air terjun setinggi 20 meter, dengan air yang jernih ditambah panorama keindahan alam ekosistem hutan hujan tropis dan ditumbuhi habitat pohon belian yang masih sangat alami. Keunikan Riam Merasap, yaitu; setelah menemukan air terjun/riam ini, dengan hanya menyusuri aliran riam wisatawan akan menemukan satu buah riam lagi dengan ketinggian 8 meter, yang disebut ; Riam Naik Kubik.
- Di obyek wisata ini juga terdapat riam lainnya selain yang telah disebutkan tadi yaitu; Riam Kaca dan Riam Babi.
- Wisatawan juga dapat melihat langsung kehidupan masyarakat Dayak Selako yang menjadi masyarakat Kecamatan Sajingan Besar.
- Dengan akan dibukanya border Aruk-Sajingan sebagai pintu gerbang perbatasan antara Negara Indonesia dan Negara Malaysia, maka obyek-obyek wisata di kawasan Sanjingan besar layak untuk dikembangkan sebagai salah satu daerah tujuan wisata yang nantinya diharapkan akan dapat menarik wisatawan khususnya yang berasal dari luar (wisatawan mancanegara) yang datang/pergi melalui border Aruk Sajingan.
Sumber :
http://disbudpar.kalbarprov.go.id/wisata-alam/air-terjun/189-riam-merasap.html
http://bajenx.blogspot.com/2008/09/objek-wisata-di-kabupaten-bengkayang.html

Mengenal Suku Dayak Bidayuh dari Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat

Mengenal Suku Dayak Bidayuh dari Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat


Bertemu Suku Dayak Bidayuh di 
Pekan Budaya Dayak Nasional TaHUN 2013
Jakarta (27/4/13)
Pekan Budaya Dayak tahun 2013, yang sedianya dibuka langsung oleh Presiden Republik Indonesia, akhirnya hanya diwakili oleh Wakil Presiden, Budiono, sebuah contoh kecil, bahwa Presiden SBY memang tidak melirik Kalimantan sebagai sebuah potensi yang luar biasa dalam pembangunan republik ini ataukah presiden memang tidak serius membangun Kalimantan? Ah, tak perlu dipersoalkan, mungkin sudah seperti itu pemimpin republik ini.
bersama salah satu warga dayak bidayuh dari bengkayang, kalimantan barat_dalam pekan budaya dayak nasional 2013
Kembali pada Pekan Budaya Dayak Nasional, sebuah berkah luar biasa adalah ketika bisa menemukenali ragam khas Suku Dayak yang tersebar di seantero tanah Borneo.

Menikmati suguhan pentas budaya ditengah metropolis Jakarta menjadi sebuah barang langkah, apalagi menikmati secara hampir lengkap kehadiran eksotisme khas Suku Dayak dari 5 provinsi yang ada di Kalimantan pada sebuah tempat yang sama adalah hal luar biasa.
perempuan dayak bidayuh, beda dan unik_dalam pekan budaya dayak nasional 2013
Kali ini, secara tidak disengaja, aku bertemu langsung dengan salah satu anak suku Dayak yang berasal dari sebuah kabupaten jauh di Kalimantan Barat sana, sebuah anak suku yang sebelumnya hanya bisa dibaca dari ragam referensi hasil tulisan atau buku-buku bacaan yang sempat kutemukan.
Sebuah eksotisme lain dari suku anak negeri, ternyata memberi warna tersendiri dalam Pekan Budaya Dayak kali ini. Bukan ragam warna yang kutemukan, apalagi hiasan bulu burung langkah pada mahkotanya, tetapi ketertarikanku justru jatuh pada kedua orang perempuan setengah baya yang duduk pada sebuah standa dari sebuah kabupaten bernama Bengkayang.
bapak ledjie taq, kepala adat wehea desa nehas liah bing, bersama warga suku dayak bidayuh, bengkayang, kalbar_dalam pekan budaya dayak nasional 2013
Sedikit berbeda dengan subsub suku Dayak lainnya, pakaian tradisional mereka sangatlah sederhana, dan uniknya, unsur warna merah sangat kuat dalam tampilannya, entahlah, apakah warna tersebut mengandung makna khusus bagi mereka.
Tangan dan kaki kedua perempuan setengah baya itu terbalut gelang melingkar seperti menjadi satu bagian dengan betis kaki serta lengan bawah mereka. Berbeda tetapi sangat unik.
laki-laki dayak bidayuh dalam pekan budaya dayak nasional 2013
Sementara itu, para lelakinya juga terlihat sangat khas, dengan rantai kalung berhias taring hewan tertentu, mereka terlihat sangat berbeda dibandingkan dengan tampilan khas sub suku Dayak lainnya yang hadir dalam Pekan Budaya Dayak tersebut. Sebuah suguhan unik, dan tentunya luar biasa, karena kutemukan itu bukan di Bengkayang, pada sebuah desa dimana mereka berdiam, tetapi di ibukota republik ini, yang sebenarnya justru telah turut memberi andil ketidakadilan mereka.
marta wehea (kiri) bersama mbak rini (kanan) bersama suku dayak bidayuh dalam pekan budaya dayak nasional 2013
Melihat mereka, terbersit sebuah keingintahuan untuk lebih mengenal siapa mereka. Menurut ketua rombongan mereka, yang juga adalah salah satu anggota DPRD di Kabupaten Bengkayang, mereka berasal dari Suku Dayak Bidayuh, yang merupakan salah satu anak suku Dayak yang tersebar di Kalimantan Barat.
Bidayuh menurut ragam sumber, berasal dari kata Doyoh yang artinya bukit. Sebaran Suku Dayak Bidayuh pada saat ini di sekitar Kecamatan Jagoi Babang dan Kecamatan Siding, Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat.
laki-laki dayak bidayuh dalam pekan budaya dayak nasional 2013
Hal unik lainnya dari Suku Dayak Bidayuh adalah pada rumah adatnya. Ketika kita mengenal rumah panjang atau rumah betang atau lamin, masyarakat Suku Dayak Bidayuh mengenal rumah adat Balug, yaitu sebuah rumah panggung yang berbentuk bulat yang selalu digunakan sebagai tempat untuk mengadakan ritual Nyobeng, yaitu sebuah ritual untuk memandikan tengkorak manusia hasil mengayau nenek moyang mereka, dan ritual tersebut biasa dilaksanakan pada pertengahan bulan Juni setiap tahunnya.
Wilayah Suku Dayak Bidayuh berada pada beranda depan negeri ini, tetapi melihat mereka, serta penjelasan dari sang kepala rombongan, menunjukan bahwa perhatian pemerintah pusat terhadap wilayah perbatasan termasuk kepada masyarakat adat Suku Dayak Bidayuh sangatlah rendah.
saya bersama dengan laki-laki dayak bidayuh dalam pekan budaya dayak nasional 2013
Perbedaan mencolok sangat terlihat jelas ketika membandingkan sesama saudara mereka dari sub suku Dayak lainnya yang berada di negeri jiran, dan perbedaan-perbedaan tersebut telah berlangsung sangat lama, sehingga dengan kehadiran rombongan dari Suku Dayak Bidayuh, yang hadir langsung dalam Pekan Budaya Dayak Nasional tersebut dapat membuka mata siapa saja, bahwa eksistensi masyarakat adat Dayak Bidayuh juga perlu mendapat perhatian serius dari pemerintah, termasuk mendorong pembangunan di wilayah mereka yang juga merupakan beranda terdepan negeri ini tanpa menghilangkan kearifan tradisional yang mereka miliki secara turun temurun.
Semoga suatu saat dapat bertemu kembali dengan mereka, walau hanya untuk sekedar ngobrol tentunya dengan waktu yang lebih banyak………..

Adat Istiadat Suku Dayak

Adat Istiadat Suku Dayak

Tinggalkan Komentar

undefined
Suku Dayak adalah suku asli Kalimantan yang hidup berkelompok yang tinggal di pedalaman, di gunung, dan sebagainya. Kata Dayak itu sendiri sebenarnya diberikan oleh orang-orang Melayu yang datang ke Kalimantan. Orang-orang Dayak sendiri sebenarnya keberatan memakai nama Dayak, sebab lebih diartikan agak negatif. Padahal, semboyan orang Dayak adalah “Menteng Ueh Mamut”, yang berarti seseorang yang memiliki kekuatan gagah berani, serta tidak kenal menyerah atau pantang mundur.
ASAL MULA
Pada tahun (1977-1978) saat itu, benua Asia dan pulau Kalimantan yang merupakan bagian nusantara yang masih menyatu, yang memungkinkan ras mongoloid dari asia mengembara melalui daratan dan sampai di Kalimantan dengan melintasi pegunungan yang sekarang disebut pegunungan “Muller-Schwaner”. Suku Dayak merupakan penduduk Kalimantan yang sejati. Namun setelah orang-orang Melayu dari Sumatra dan Semenanjung Malaka datang, mereka makin lama makin mundur ke dalam.
Belum lagi kedatangan orang-orang Bugis, Makasar, dan Jawa pada masa kejayaan Kerajaan Majapahit. Suku Dayak hidup terpencar-pencar di seluruh wilayah Kalimantan dalam rentang waktu yang lama, mereka harus menyebar menelusuri sungai-sungai hingga ke hilir dan kemudian mendiami pesisir pulau Kalimantan. Suku ini terdiri atas beberapa suku yang masing-masing memiliki sifat dan perilaku berbeda. Suku Dayak pernah membangun sebuah kerajaan. Dalam tradisi lisan Dayak, sering disebut ”Nansarunai Usak Jawa”, yakni sebuah kerajaan Dayak Nansarunai yang hancur oleh Majapahit, yang diperkirakan terjadi antara tahun 1309-1389 (Fridolin Ukur,1971). Kejadian tersebut mengakibatkan suku Dayak terdesak dan terpencar, sebagian masuk daerah pedalaman. Arus besar berikutnya terjadi pada saat pengaruh Islam yang berasala dari kerajaan Demak bersama masuknya para pedagang Melayu (sekitar tahun 1608). Sebagian besar suku Dayak memeluk Islam dan tidak lagi mengakui dirinya sebagai orang Dayak, tapi menyebut dirinya sebagai orang Melayu atau orang Banjar. Sedangkan orang Dayak yang menolak agama Islam kembali menyusuri sungai, masuk ke pedalaman di Kalimantan Tengah, bermukim di daerah-daerah Kayu Tangi, Amuntai, Margasari, Watang Amandit, Labuan Lawas dan Watang Balangan. Sebagain lagi terus terdesak masuk rimba. Orang Dayak pemeluk Islam kebanyakan berada di Kalimantan Selatan dan sebagian Kotawaringin, salah seorang Sultan Kesultanan Banjar yang terkenal adalah Lambung Mangkurat sebenarnya adalah seorang Dayak (Ma’anyan atau Ot Danum) Tidak hanya dari nusantara, bangsa-bangsa lain juga berdatangan ke Kalimantan. Bangsa Tionghoa diperkirakan mulai datang ke Kalimantan pada masa Dinasti Ming tahun 1368-1643. Dari manuskrip berhuruf kanji disebutkan bahwa kota yang pertama di kunjungi adalah Banjarmasin. Tetapi masih belum jelas apakah bangsa Tionghoa datang pada era Bajarmasin (dibawah hegemoni Majapahit) atau di era Islam. Kedatangan bangsa Tionghoa tidak mengakibatkan perpindahan penduduk Dayak dan tidak memiliki pengaruh langsung karena langsung karena mereka hanya berdagang, terutama dengan kerajaan Banjar di Banjarmasin. Mereka tidak langsung berniaga dengan orang Dayak. Peninggalan bangsa Tionghoa masih disimpan oleh sebagian suku Dayak seperti piring malawen, belanga (guci) dan peralatan keramik. Sejak awal abad V bangsa Tionghoa telah sampai di Kalimantan. Pada abad XV Raja Yung Lo mengirim sebuah angkatan perang besar ke selatan (termasuk Nusantara) di bawah pimpinan Chang Ho, dan kembali ke Tiongkok pada tahun 1407, setelah sebelumnya singgah ke Jawa, Kalimantan, Malaka, Manila dan Solok. Pada tahun 1750, Sultan Mempawah menerima orang-orang Tionghoa (dari Brunei) yang sedang mencari emas. Orang-orang Tionghoa tersebut membawa juga barang dagangan diantaranya candu, sutera, barang pecah belah seperti piring, cangkir, mangkok dan guci (Sarwoto kertodipoero,1963) Dibawah ini ada beberapa adat istiadat bagi suku dayak yang masih terpelihara hingga kini, dan dunia supranatural Suku Dayak pada zaman dahulu maupun zaman sekarang yang masih kuat sampai sekarang. Adat istiadat ini merupakan salah satu kekayaan budaya yang dimiliki oleh Bangsa Indonesia, karena pada awal mulanya Suku Dayak berasal dari pedalaman Kalimantan. * Upacara Tiwah Upacara Tiwah merupakan acara adat suku Dayak. Tiwah merupakan upacara yang dilaksanakan untuk pengantaran tulang orang yang sudah meninggal ke Sandung yang sudah di buat. Sandung adalah tempat yang semacam rumah kecil yang memang dibuat khusus untuk mereka yang sudah meninggal dunia. Upacara Tiwah bagi Suku Dayak sangatlah sakral, pada acara Tiwah ini sebelum tulang-tulang orang yang sudah mati tersebut di antar dan diletakkan ke tempatnya (sandung), banyak sekali acara-acara ritual, tarian, suara gong maupun hiburan lain. Sampai akhirnya tulang-tulang tersebut di letakkan di tempatnya (Sandung). * Dunia Supranatural Dunia Supranatural bagi Suku Dayak memang sudah sejak jaman dulu merupakan ciri khas kebudayaan Dayak. Karena supranatural ini pula orang luar negeri sana menyebut Dayak sebagai pemakan manusia ( kanibal ). Namun pada kenyataannya Suku Dayak adalah suku yang sangat cinta damai asal mereka tidak di ganggu dan ditindas semena-mena. Kekuatan supranatural Dayak Kalimantan banyak jenisnya, contohnya Manajah Antang. Manajah Antang merupakan cara suku Dayak untuk mencari petunjuk seperti mencari keberadaan musuh yang sulit di temukan dari arwah para leluhur dengan media burung Antang, dimanapun musuh yang di cari pasti akan ditemukan. Mangkok merah. Mangkok merah merupakan media persatuan Suku Dayak. Mangkok merah beredar jika orang Dayak merasa kedaulatan mereka dalam bahaya besar. “Panglima” atau sering suku Dayak sebut Pangkalima biasanya mengeluarkan isyarat siaga atau perang berupa mangkok merah yang di edarkan dari kampung ke kampung secara cepat sekali. Dari penampilan sehari-hari banyak orang tidak tahu siapa panglima Dayak itu. Orangnya biasa-biasa saja, hanya saja ia mempunyai kekuatan supranatural yang luar biasa. Percaya atau tidak panglima itu mempunyai ilmu bisa terbang kebal dari apa saja seperti peluru, senjata tajam dan sebagainya. Mangkok merah tidak sembarangan diedarkan. Sebelum diedarkan sang panglima harus membuat acara adat untuk mengetahui kapan waktu yang tepat untuk memulai perang. Dalam acara adat itu roh para leluhur akan merasuki dalam tubuh pangkalima lalu jika pangkalima tersebut ber “Tariu” ( memanggil roh leluhur untuk untuk meminta bantuan dan menyatakan perang ) maka orang-orang Dayak yang mendengarnya juga akan mempunyai kekuatan seperti panglimanya. Biasanya orang yang jiwanya labil bisa sakit atau gila bila mendengar tariu. Orang-orang yang sudah dirasuki roh para leluhur akan menjadi manusia dan bukan. Sehingga biasanya darah, hati korban yang dibunuh akan dimakan. Jika tidak dalam suasana perang tidak pernah orang Dayak makan manusia. Kepala dipenggal, dikuliti dan di simpan untuk keperluan upacara adat. Meminum darah dan memakan hati itu, maka kekuatan magis akan bertambah. Makin banyak musuh dibunuh maka orang tersebut makin sakti. Mangkok merah terbuat dari teras bambu (ada yang mengatakan terbuat dari tanah liat) yang didesain dalam bentuk bundar segera dibuat. Untuk menyertai mangkok ini disediakan juga perlengkapan lainnya seperti ubi jerangau merah (acorus calamus) yang melambangkan keberanian (ada yang mengatakan bisa diganti dengan beras kuning), bulu ayam merah untuk terbang, lampu obor dari bambu untuk suluh (ada yang mengatakan bisa diganti dengan sebatang korek api), daun rumbia (metroxylon sagus) untuk tempat berteduh dan tali simpul dari kulit kepuak sebagai lambang persatuan. Perlengkapan tadi dikemas dalam mangkok dari bambu itu dan dibungkus dengan kain merah. Menurut cerita turun-temurun mangkok merah pertama beredar ketika perang melawan Jepang dulu. Lalu terjadi lagi ketika pengusiran orang Tionghoa dari daerah-daerah Dayak pada tahun 1967. pengusiran Dayak terhadap orang Tionghoa bukannya perang antar etnis tetapi lebih banyak muatan politisnya. Sebab saat itu Indonesia sedang konfrontasi dengan Malaysia. Menurut kepercayaan Dayak, terutama yang dipedalaman Kalimantan yang disampaikan dari mulut ke mulut, dari nenek kepada bapak, dari bapak kepada anak, hingga saat ini yang tidak tertulis mengakibatkan menjadi lebih atau kurang dari yang sebenar-benarnya, bahwa asal-usul nenek moyang suku Dayak itu diturunkan dari langit yang ke tujuh ke dunia ini dengan “Palangka Bulau” ( Palangka artinya suci, bersih, merupakan ancak, sebagai tandu yang suci, gandar yang suci dari emas diturunkan dari langit, sering juga disebutkan “Ancak atau Kalangkang” ).