Adat Istiadat Suku Dayak
29 Maret 2011
Suku Dayak adalah suku asli Kalimantan yang hidup berkelompok
yang tinggal di pedalaman, di gunung, dan sebagainya. Kata Dayak itu
sendiri sebenarnya diberikan oleh orang-orang Melayu yang datang ke
Kalimantan. Orang-orang Dayak sendiri sebenarnya keberatan memakai
nama Dayak, sebab lebih diartikan agak negatif. Padahal, semboyan
orang Dayak adalah “Menteng Ueh Mamut”, yang berarti seseorang yang
memiliki kekuatan gagah berani, serta tidak kenal menyerah atau
pantang mundur.
ASAL MULA
Pada tahun (1977-1978) saat itu, benua Asia dan pulau Kalimantan
yang merupakan bagian nusantara yang masih menyatu, yang memungkinkan
ras mongoloid dari asia mengembara melalui daratan dan sampai di
Kalimantan dengan melintasi pegunungan yang sekarang disebut
pegunungan “Muller-Schwaner”. Suku Dayak merupakan penduduk Kalimantan
yang sejati. Namun setelah orang-orang Melayu dari Sumatra dan
Semenanjung Malaka datang, mereka makin lama makin mundur ke dalam.
Belum lagi kedatangan orang-orang Bugis, Makasar, dan Jawa pada
masa kejayaan Kerajaan Majapahit. Suku Dayak hidup terpencar-pencar di
seluruh wilayah Kalimantan dalam rentang waktu yang lama, mereka
harus menyebar menelusuri sungai-sungai hingga ke hilir dan kemudian
mendiami pesisir pulau Kalimantan. Suku ini terdiri atas beberapa suku
yang masing-masing memiliki sifat dan perilaku berbeda. Suku
Dayak pernah membangun sebuah kerajaan. Dalam tradisi lisan Dayak,
sering disebut ”Nansarunai Usak Jawa”, yakni sebuah kerajaan Dayak
Nansarunai yang hancur oleh Majapahit, yang diperkirakan terjadi antara
tahun 1309-1389 (Fridolin Ukur,1971). Kejadian tersebut mengakibatkan
suku Dayak terdesak dan terpencar, sebagian masuk daerah pedalaman.
Arus besar berikutnya terjadi pada saat pengaruh Islam yang berasala
dari kerajaan Demak bersama masuknya para pedagang Melayu (sekitar
tahun 1608). Sebagian besar suku Dayak memeluk Islam dan tidak lagi
mengakui dirinya sebagai orang Dayak, tapi menyebut dirinya sebagai
orang Melayu atau orang Banjar. Sedangkan orang Dayak yang menolak
agama Islam kembali menyusuri sungai, masuk ke pedalaman di Kalimantan
Tengah, bermukim di daerah-daerah Kayu Tangi, Amuntai, Margasari,
Watang Amandit, Labuan Lawas dan Watang Balangan. Sebagain lagi terus
terdesak masuk rimba. Orang Dayak pemeluk Islam kebanyakan berada di
Kalimantan Selatan dan sebagian Kotawaringin, salah seorang Sultan
Kesultanan Banjar yang terkenal adalah Lambung Mangkurat sebenarnya
adalah seorang Dayak (Ma’anyan atau Ot Danum) Tidak hanya dari
nusantara, bangsa-bangsa lain juga berdatangan ke Kalimantan. Bangsa
Tionghoa diperkirakan mulai datang ke Kalimantan pada masa Dinasti
Ming tahun 1368-1643. Dari manuskrip berhuruf kanji disebutkan bahwa
kota yang pertama di kunjungi adalah Banjarmasin. Tetapi masih belum
jelas apakah bangsa Tionghoa datang pada era Bajarmasin (dibawah
hegemoni Majapahit) atau di era Islam. Kedatangan bangsa Tionghoa tidak
mengakibatkan perpindahan penduduk Dayak dan tidak memiliki pengaruh
langsung karena langsung karena mereka hanya berdagang, terutama
dengan kerajaan Banjar di Banjarmasin. Mereka tidak langsung berniaga
dengan orang Dayak. Peninggalan bangsa Tionghoa masih disimpan oleh
sebagian suku Dayak seperti piring malawen, belanga (guci) dan
peralatan keramik. Sejak awal abad V bangsa Tionghoa telah sampai di
Kalimantan. Pada abad XV Raja Yung Lo mengirim sebuah angkatan perang
besar ke selatan (termasuk Nusantara) di bawah pimpinan Chang Ho, dan
kembali ke Tiongkok pada tahun 1407, setelah sebelumnya singgah ke
Jawa, Kalimantan, Malaka, Manila dan Solok. Pada tahun 1750, Sultan
Mempawah menerima orang-orang Tionghoa (dari Brunei) yang sedang
mencari emas. Orang-orang Tionghoa tersebut membawa juga barang
dagangan diantaranya candu, sutera, barang pecah belah seperti piring,
cangkir, mangkok dan guci (Sarwoto kertodipoero,1963) Dibawah ini
ada beberapa adat istiadat bagi suku dayak yang masih terpelihara
hingga kini, dan dunia supranatural Suku Dayak pada zaman dahulu
maupun zaman sekarang yang masih kuat sampai sekarang. Adat istiadat
ini merupakan salah satu kekayaan budaya yang dimiliki oleh Bangsa
Indonesia, karena pada awal mulanya Suku Dayak berasal dari pedalaman
Kalimantan. * Upacara Tiwah Upacara Tiwah merupakan acara adat suku
Dayak. Tiwah merupakan upacara yang dilaksanakan untuk pengantaran
tulang orang yang sudah meninggal ke Sandung yang sudah di buat.
Sandung adalah tempat yang semacam rumah kecil yang memang dibuat
khusus untuk mereka yang sudah meninggal dunia. Upacara Tiwah bagi Suku
Dayak sangatlah sakral, pada acara Tiwah ini sebelum tulang-tulang
orang yang sudah mati tersebut di antar dan diletakkan ke tempatnya
(sandung), banyak sekali acara-acara ritual, tarian, suara gong maupun
hiburan lain. Sampai akhirnya tulang-tulang tersebut di letakkan di
tempatnya (Sandung). * Dunia Supranatural Dunia Supranatural bagi Suku
Dayak memang sudah sejak jaman dulu merupakan ciri khas kebudayaan
Dayak. Karena supranatural ini pula orang luar negeri sana menyebut
Dayak sebagai pemakan manusia ( kanibal ). Namun pada kenyataannya
Suku Dayak adalah suku yang sangat cinta damai asal mereka tidak di
ganggu dan ditindas semena-mena. Kekuatan supranatural Dayak
Kalimantan banyak jenisnya, contohnya Manajah Antang. Manajah Antang
merupakan cara suku Dayak untuk mencari petunjuk seperti mencari
keberadaan musuh yang sulit di temukan dari arwah para leluhur dengan
media burung Antang, dimanapun musuh yang di cari pasti akan
ditemukan. Mangkok merah. Mangkok merah merupakan media persatuan Suku
Dayak. Mangkok merah beredar jika orang Dayak merasa kedaulatan mereka
dalam bahaya besar. “Panglima” atau sering suku Dayak sebut
Pangkalima biasanya mengeluarkan isyarat siaga atau perang berupa
mangkok merah yang di edarkan dari kampung ke kampung secara cepat
sekali. Dari penampilan sehari-hari banyak orang tidak tahu siapa
panglima Dayak itu. Orangnya biasa-biasa saja, hanya saja ia mempunyai
kekuatan supranatural yang luar biasa. Percaya atau tidak panglima
itu mempunyai ilmu bisa terbang kebal dari apa saja seperti peluru,
senjata tajam dan sebagainya. Mangkok merah tidak sembarangan
diedarkan. Sebelum diedarkan sang panglima harus membuat acara adat
untuk mengetahui kapan waktu yang tepat untuk memulai perang. Dalam
acara adat itu roh para leluhur akan merasuki dalam tubuh pangkalima
lalu jika pangkalima tersebut ber “Tariu” ( memanggil roh leluhur
untuk untuk meminta bantuan dan menyatakan perang ) maka orang-orang
Dayak yang mendengarnya juga akan mempunyai kekuatan seperti
panglimanya. Biasanya orang yang jiwanya labil bisa sakit atau gila
bila mendengar tariu. Orang-orang yang sudah dirasuki roh para leluhur
akan menjadi manusia dan bukan. Sehingga biasanya darah, hati korban
yang dibunuh akan dimakan. Jika tidak dalam suasana perang tidak
pernah orang Dayak makan manusia. Kepala dipenggal, dikuliti dan di
simpan untuk keperluan upacara adat. Meminum darah dan memakan hati
itu, maka kekuatan magis akan bertambah. Makin banyak musuh dibunuh
maka orang tersebut makin sakti. Mangkok merah terbuat dari teras
bambu (ada yang mengatakan terbuat dari tanah liat) yang didesain
dalam bentuk bundar segera dibuat. Untuk menyertai mangkok ini
disediakan juga perlengkapan lainnya seperti ubi jerangau merah
(acorus calamus) yang melambangkan keberanian (ada yang mengatakan
bisa diganti dengan beras kuning), bulu ayam merah untuk terbang,
lampu obor dari bambu untuk suluh (ada yang mengatakan bisa diganti
dengan sebatang korek api), daun rumbia (metroxylon sagus) untuk
tempat berteduh dan tali simpul dari kulit kepuak sebagai lambang
persatuan. Perlengkapan tadi dikemas dalam mangkok dari bambu itu dan
dibungkus dengan kain merah. Menurut cerita turun-temurun mangkok merah
pertama beredar ketika perang melawan Jepang dulu. Lalu terjadi lagi
ketika pengusiran orang Tionghoa dari daerah-daerah Dayak pada tahun
1967. pengusiran Dayak terhadap orang Tionghoa bukannya perang antar
etnis tetapi lebih banyak muatan politisnya. Sebab saat itu Indonesia
sedang konfrontasi dengan Malaysia. Menurut kepercayaan Dayak,
terutama yang dipedalaman Kalimantan yang disampaikan dari mulut ke
mulut, dari nenek kepada bapak, dari bapak kepada anak, hingga saat
ini yang tidak tertulis mengakibatkan menjadi lebih atau kurang dari
yang sebenar-benarnya, bahwa asal-usul nenek moyang suku Dayak itu
diturunkan dari langit yang ke tujuh ke dunia ini dengan “Palangka
Bulau” ( Palangka artinya suci, bersih, merupakan ancak, sebagai tandu
yang suci, gandar yang suci dari emas diturunkan dari langit, sering
juga disebutkan “Ancak atau Kalangkang” ).
sumber : http://www.antobky.blogspot.com/
0 komentar:
Posting Komentar